Rabu, 20 Januari 2016



PENTAS BULLY

            Pentas itu sangat menyeramkan, pikir sang tokoh utama. Di dalam pentas itu hanya ada kesedihan dan sedikit kebahagiaan. Sang tokoh utama yang lemah dan tak bisa melakukan apa-apa hanya bisa menangis menghadapi perannya dalam pentas itu. Tetapi, kebaikan dan kekuatannya untuk tegar selalu ada bersama gambaran aneh itu. Sang tokoh utama membuat dunia imajinasinya sendiri. Di mana ia bahagia. Di sana hanya ada kebahagiaan. Bersama sahabat khayalannya yang tak akan pernah ada. Dan kini, aku harus menjadi sang tokoh utama.
            Setiap hari, aku selalu bermain bersama sahabat-sahabatku. Itu sudah menjadi kebiasaan. Tapi, semuanya tiba-tiba hancur. Gossip-gosip yang menyebar dengan cepat tanpa kusadari mulai membuat semua anak membenciku secara perlahan. Aku yang saat itu masih kelas 4SD, menganggap kata-kata kasar anak-anak sebagai candaan. Mereka yang selalu dekat denganku, mulai menjauh. Aku Cuma beranggapan bahwa mungkin mereka menemukan teman yang lebih asyik untuk dijadikan sahabat. Memang sedih, tapi kami kan masih berteman. Tak ada yang kukhawatirkan.
            Tak terasa, 1 tahun berlalu. Kami semua kembali bersama sebagai anggota keluarga kelas 5B yang baru. Tahun ini, aku akan menjadi lebih baik lagi biar bisa mendapat banyak sahabat. Semuanya berjalan dengan baik. Tapi… itu Cuma sampai 1 bulan. Aku mulai dibenci secara terang-terangan. Aku sering dilempar oleh kayu dari dinding kayu kelasku yang sudah keropos. Aku berusaha bersabar, aku yakin mereka Cuma bercanda. Tapi, lama-lama semuanya malah makin parah. Aku berusaha nggak peduli, namun ini berat banget! Kini, aku mulai menyadari. Yah, ternyata aku dibully. Terlambat memang, tapi aku ingin tahu kenapa mereka membenciku. Aku nggak mau buat orang benci sama aku. Aku Cuma ingin berteman dengan mereka.
            “Habis kamu keliatannya disayang sama guru banget. Waktu kelas 4 aja, guru itu (nama disensor, ya) memberikan buku Kuark langsung sama kamu”, jawab seorang temanku. Dia juga membenciku, untung perasaannya sedang bagus, jadi dia mau memberitahuku.
            “Eh? Aku kan memang langganan buku”, kataku kaget.
            “Yah, aku nggak tahu”, balasnya cuek. Yang tadi itu maksudnya apa?! Dia benci aku tapi nggak ngerti alasannya?! Aduuuh, aku jadi makin bingung, deh.
            Esoknya, kebencian mereka bertambah parah. Anak-anak yang paling nakal itu membullyku. Mencuri bullpen dan pensil milikku, merobek gambaranku, mencoret-coret bukuku, juga… terkadang menendang kakiku. Aku Cuma bisa menangis, seperti sang Tokoh Utama. Aku memang lemah, pikirku. Aku nggak bisa apa-apa, aku bisanya menangis.
            Kekurangan terbesarku, yang selalu dianggap biasa oleh teman-teman sekelasku, berubah menjadi bencana tambahan. Kekuranganku adalah aku pelat, aku nggak bisa ngomong huruf “R”. mereka mulai mengejek kekuranganku ini dan mengubah-ubah lagu untuk mengejekku. Aku mulai membenci diriku sendiri. Setiap hari, aku selalu mendapat mimpi buruk yang sama. Mereka membullyku, yang membuatku takut untuk datang ke sekolah. Aku menyadari, masih ada lagi yang bisa kulakukan. Pura-pura tersenyum seolah tak ada apa-apa kepada orang lain selain anak dari kelasku. Mungkin pantas jika aku dibilang bermuka dua, aku juga mulai tak perduli. Lebih baik menangis saja di dalam hatiku, aku akan berusaha nggak menunjukkannya pada orang lain selain keluarga kelas 5B.
            Tanpa kusadari, aku mulai lari dari kewajibanku. Lomba-lomba yang diembankan padaku, kujadikan sarana pelarian diri dari mimpi burukku. Lagipula, yang kubutuhkan Cuma senyum palsuku. Tak ada yang bisa menghiburku, karena aku membuat dunia imajinasiku sendiri. Bebas dari mimpi buruk itu. Bersama seorang sahabat khayalanku yang juga dibenci teman sekelasku, Akimoto Nami. Saat aku menangis, aku selalu menggambar Nami. Sosoknya yang dingin itu dibenci semua anak. Mereka bilang, Nami adalah setan. Meskipun sudah kujelaskan bahwa Nami Cuma imajinasiku saja.
            “Hancurkanlah”, kata Nami dalam mimpiku. Ini pertama kalinya karakter khayalanku masuk di dunia mimpi. Mungkin karena pembullyanku sudah terlalu parah.
            “Apanya?”, Tanyaku bingung.
            “Mimpi buruk itu”, jawab Nami.
            “Memangnya aku bisa apa? Aku kan lemah dan cengeng”, tanyaku.
            “Tak ada yang bisa kaukatakan bahwa itu tak bisa kaulakukan. Bahkan kau belum melakukan apa-apa”, jawab Nami lagi. Ia tersenyum simpul dengan mata merahnya. Baru kali ini kulihat ia tersenyum, aku bahkan nggak pernah menggambarnya tersenyum.
            “Memangnya aku harus melakukan apa? Melawan mereka? Melawan maupun tidak, aku tetap bakal dibully, kan”, tanyaku seolah menantang.
            Nami terdiam. “Lalu, kamu pikir mana jalan yang benar? Jalan pintasmu sudah rusak, mari kita buat sekali lagi. Kini waktumu untuk mulai melawan dengan cara ‘unik’mu itu, kan”, jawab Nami. Sosok Nami yang tersenyum, Cuma itu yang kuingat setelah terbangun.
            Hari ini dimulai lagi. Apakah hari ini aku akan menangis lagi? Aku Cuma sendirian? Tidak, aku sadar aku nggak pernah sendirian. Meskipun aku memendamnya dalam-dalam, aku akan berusaha mengubah ending cerita hidupku.  Aku belum terlambat untuk mengubahnya, bukan?
            Senyum kaku teman-teman menyambutku. Oke, seperti biasa. Aku duduk di tempatku seperti biasa. Sebentar lagi aku kelas 6. Hampir 1 tahun kulewati dengan kesedihan. Aku sadar, harusnya bukan begitu. Saatnya menghancurkan ending sedih itu.
            Seperti biasa, tetap tersenyum. Belajar sambil menggambar, makan bekal sambil bagi-bagi ke teman-teman, beli coklat 4 dibagiin 3 ke teman-teman, memberitahu apa yang kupahami di pelajaran. Meskipun prestasi milikku (satu-satunya), yaitu menang lomba Try Out SSC juara 3 saat kelas 4 difitnah aku meminta kunci jawaban soal, difitnah perek (aku nggak tahu apa artinya, sampai sekarang dan aku nggak mau tahu, soalnya aku nggak mau ngejek),  dan lainnya. Masih banyak fitnah yang mereka berikan, namun aku masih punya teman-teman baik lainnya. Zainal, Bagas, Anas alias Aan, M. Reza, Farah, Laras, Regita alias Pipit, Salsa (kakak kelas, nggak kupanggil ‘mbak’ karena waktu TK kami itu bareng). Memang sedikit, tapi bagiku itu berharga. Sahabatku yang berharga. Kegiatan di seni lukis juga membuatku lupa mimpi buruk. Perlahan, mimpi buruk itu hancur sedikit-sedikit. Hati teman-temanku mulai lunak juga. Waktu mereka puji gambaranku, rasanya senang. Aku senang karena berpikir mereka mulai menyukaiku dan menganggapku sebagai teman mereka lagi, meski aku nggak tahu apa yang mereka pikirkan.
            Kelas 6 ini, kami semua berpisah. Ada yang di kelas A, B, dan C. aku masuk kelas 6B bersama Laras, Aan, dan M. Reza. Tapi, tetap saja ada yang memfitnahku di semester dua ini. Dia bilang aku sok polos, padahal memang sejak kecil aku polos. Sombong (aku nggak tahu kenapa mereka mengejekku begitu), penggoda cowok (yang ini jelas-jelas yang paling aneh, aku kan Cuma sapa-sapaan sama Zainal Mbah buyutku di keluarga 5B dulu), combean alias tukang lapor (aku Cuma bilang demi kebaikan mereka, aku nggak pernah ngebocorin rahasia seseorang), orang gila (mungkin mereka iri dengan imajinasiku yang hebat?), dan lain-lain. Semuanya kubiarkan seperti masuk telinga kanan keluarnya telinga kiri. Aku nggak perduli ejekan itu. Mereka kan nggak tahu aku luar-dalam, jadi untuk apa aku peduli.
Sekarang, aku bakal menjadi sosok anak yang baru. Aku nggak mengaharapkan pujian semua orang, aku Cuma ingin sahabat yang ikhlas berteman denganku (kayak Laras, Pipit, Farah, Ayu, Nisa, Inas, Desi, Aan, Bagas, M. Reza, sama Zainal). Ending ceritanya mungkin selalu ditutupi jalan-jalan yang sulit kutempuh karena aku nggak bisa memilih jalan pintas lagi. tapi, aku punya banyak orang yang mendukungku, yang membuatku bersyukur kalau aku bisa bertemu dengan mereka setiap hari.
Thank you, my dear friend. I will never forget you all
DISUSUN OLEH:
NAMA: NAJWA ANISA SAFITRI
KELAS: VI B
NO ABSEN: 34



Yuk Baca!

Yuk Baca!
Aktivitas di pos baca girli