PENTAS
BULLY
Pentas itu sangat menyeramkan, pikir sang tokoh utama. Di
dalam pentas itu hanya ada kesedihan dan sedikit kebahagiaan. Sang tokoh utama
yang lemah dan tak bisa melakukan apa-apa hanya bisa menangis menghadapi
perannya dalam pentas itu. Tetapi, kebaikan dan kekuatannya untuk tegar selalu
ada bersama gambaran aneh itu. Sang tokoh utama membuat dunia imajinasinya
sendiri. Di mana ia bahagia. Di sana hanya ada kebahagiaan. Bersama sahabat
khayalannya yang tak akan pernah ada. Dan kini, aku harus menjadi sang tokoh
utama.
Setiap hari, aku selalu bermain bersama
sahabat-sahabatku. Itu sudah menjadi kebiasaan. Tapi, semuanya tiba-tiba
hancur. Gossip-gosip yang menyebar dengan cepat tanpa kusadari mulai membuat
semua anak membenciku secara perlahan. Aku yang saat itu masih kelas 4SD,
menganggap kata-kata kasar anak-anak sebagai candaan. Mereka yang selalu dekat
denganku, mulai menjauh. Aku Cuma beranggapan bahwa mungkin mereka menemukan
teman yang lebih asyik untuk dijadikan sahabat. Memang sedih, tapi kami kan
masih berteman. Tak ada yang kukhawatirkan.
Tak terasa, 1 tahun berlalu. Kami semua kembali bersama
sebagai anggota keluarga kelas 5B yang baru. Tahun ini, aku akan menjadi lebih
baik lagi biar bisa mendapat banyak sahabat. Semuanya berjalan dengan baik.
Tapi… itu Cuma sampai 1 bulan. Aku mulai dibenci secara terang-terangan. Aku
sering dilempar oleh kayu dari dinding kayu kelasku yang sudah keropos. Aku
berusaha bersabar, aku yakin mereka Cuma bercanda. Tapi, lama-lama semuanya
malah makin parah. Aku berusaha nggak peduli, namun ini berat banget! Kini, aku
mulai menyadari. Yah, ternyata aku dibully. Terlambat memang, tapi aku ingin
tahu kenapa mereka membenciku. Aku nggak mau buat orang benci sama aku. Aku
Cuma ingin berteman dengan mereka.
“Habis kamu keliatannya disayang sama guru banget. Waktu
kelas 4 aja, guru itu (nama disensor, ya) memberikan buku Kuark langsung sama
kamu”, jawab seorang temanku. Dia juga membenciku, untung perasaannya sedang
bagus, jadi dia mau memberitahuku.
“Eh? Aku kan memang langganan buku”, kataku kaget.
“Yah, aku nggak tahu”, balasnya cuek. Yang tadi itu
maksudnya apa?! Dia benci aku tapi nggak ngerti alasannya?! Aduuuh, aku jadi
makin bingung, deh.
Esoknya, kebencian mereka bertambah parah. Anak-anak yang
paling nakal itu membullyku. Mencuri bullpen dan pensil milikku, merobek
gambaranku, mencoret-coret bukuku, juga… terkadang menendang kakiku. Aku Cuma
bisa menangis, seperti sang Tokoh Utama. Aku memang lemah, pikirku. Aku nggak
bisa apa-apa, aku bisanya menangis.
Kekurangan terbesarku, yang selalu dianggap biasa oleh
teman-teman sekelasku, berubah menjadi bencana tambahan. Kekuranganku adalah
aku pelat, aku nggak bisa ngomong huruf “R”. mereka mulai mengejek kekuranganku
ini dan mengubah-ubah lagu untuk mengejekku. Aku mulai membenci diriku sendiri.
Setiap hari, aku selalu mendapat mimpi buruk yang sama. Mereka membullyku, yang
membuatku takut untuk datang ke sekolah. Aku menyadari, masih ada lagi yang
bisa kulakukan. Pura-pura tersenyum seolah tak ada apa-apa kepada orang lain
selain anak dari kelasku. Mungkin pantas jika aku dibilang bermuka dua, aku
juga mulai tak perduli. Lebih baik menangis saja di dalam hatiku, aku akan
berusaha nggak menunjukkannya pada orang lain selain keluarga kelas 5B.
Tanpa kusadari, aku mulai lari dari kewajibanku.
Lomba-lomba yang diembankan padaku, kujadikan sarana pelarian diri dari mimpi
burukku. Lagipula, yang kubutuhkan Cuma senyum palsuku. Tak ada yang bisa
menghiburku, karena aku membuat dunia imajinasiku sendiri. Bebas dari mimpi
buruk itu. Bersama seorang sahabat khayalanku yang juga dibenci teman
sekelasku, Akimoto Nami. Saat aku menangis, aku selalu menggambar Nami.
Sosoknya yang dingin itu dibenci semua anak. Mereka bilang, Nami adalah setan.
Meskipun sudah kujelaskan bahwa Nami Cuma imajinasiku saja.
“Hancurkanlah”, kata Nami dalam
mimpiku. Ini pertama kalinya karakter khayalanku masuk di dunia mimpi. Mungkin
karena pembullyanku sudah terlalu parah.
“Apanya?”, Tanyaku bingung.
“Mimpi buruk itu”, jawab Nami.
“Memangnya aku bisa apa? Aku kan lemah dan cengeng”,
tanyaku.
“Tak ada yang bisa kaukatakan bahwa itu tak
bisa kaulakukan. Bahkan kau belum melakukan apa-apa”, jawab Nami lagi.
Ia tersenyum simpul dengan mata merahnya. Baru kali ini kulihat ia tersenyum,
aku bahkan nggak pernah menggambarnya tersenyum.
“Memangnya aku harus melakukan apa? Melawan mereka?
Melawan maupun tidak, aku tetap bakal dibully, kan”, tanyaku seolah menantang.
Nami terdiam. “Lalu, kamu pikir mana jalan yang benar?
Jalan pintasmu sudah rusak, mari kita buat sekali lagi. Kini waktumu untuk
mulai melawan dengan cara ‘unik’mu itu, kan”, jawab Nami. Sosok Nami
yang tersenyum, Cuma itu yang kuingat setelah terbangun.
Hari ini dimulai lagi. Apakah hari ini aku akan menangis
lagi? Aku Cuma sendirian? Tidak, aku sadar aku nggak pernah sendirian. Meskipun
aku memendamnya dalam-dalam, aku akan berusaha mengubah ending cerita
hidupku. Aku belum terlambat untuk
mengubahnya, bukan?
Senyum kaku teman-teman menyambutku. Oke, seperti biasa.
Aku duduk di tempatku seperti biasa. Sebentar lagi aku kelas 6. Hampir 1 tahun
kulewati dengan kesedihan. Aku sadar, harusnya bukan begitu. Saatnya
menghancurkan ending sedih itu.
Seperti biasa, tetap tersenyum. Belajar sambil
menggambar, makan bekal sambil bagi-bagi ke teman-teman, beli coklat 4 dibagiin
3 ke teman-teman, memberitahu apa yang kupahami di pelajaran. Meskipun prestasi
milikku (satu-satunya), yaitu menang lomba Try Out SSC juara 3 saat kelas 4
difitnah aku meminta kunci jawaban soal, difitnah perek (aku nggak tahu apa
artinya, sampai sekarang dan aku nggak mau tahu, soalnya aku nggak mau
ngejek), dan lainnya. Masih banyak
fitnah yang mereka berikan, namun aku masih punya teman-teman baik lainnya.
Zainal, Bagas, Anas alias Aan, M. Reza, Farah, Laras, Regita alias Pipit, Salsa
(kakak kelas, nggak kupanggil ‘mbak’ karena waktu TK kami itu bareng). Memang
sedikit, tapi bagiku itu berharga. Sahabatku yang berharga. Kegiatan di seni
lukis juga membuatku lupa mimpi buruk. Perlahan, mimpi buruk itu hancur sedikit-sedikit.
Hati teman-temanku mulai lunak juga. Waktu mereka puji gambaranku, rasanya
senang. Aku senang karena berpikir mereka mulai menyukaiku dan menganggapku
sebagai teman mereka lagi, meski aku nggak tahu apa yang mereka pikirkan.
Kelas 6 ini, kami semua berpisah. Ada yang di kelas A, B,
dan C. aku masuk kelas 6B bersama Laras, Aan, dan M. Reza. Tapi, tetap saja ada
yang memfitnahku di semester dua ini. Dia bilang aku sok polos, padahal memang
sejak kecil aku polos. Sombong (aku nggak tahu kenapa mereka mengejekku
begitu), penggoda cowok (yang ini jelas-jelas yang paling aneh, aku kan Cuma
sapa-sapaan sama Zainal Mbah buyutku di keluarga 5B dulu), combean alias tukang
lapor (aku Cuma bilang demi kebaikan mereka, aku nggak pernah ngebocorin rahasia
seseorang), orang gila (mungkin mereka iri dengan imajinasiku yang hebat?), dan
lain-lain. Semuanya kubiarkan seperti masuk telinga kanan keluarnya telinga
kiri. Aku nggak perduli ejekan itu. Mereka kan nggak tahu aku luar-dalam, jadi
untuk apa aku peduli.
Sekarang,
aku bakal menjadi sosok anak yang baru. Aku nggak mengaharapkan pujian semua
orang, aku Cuma ingin sahabat yang ikhlas berteman denganku (kayak Laras,
Pipit, Farah, Ayu, Nisa, Inas, Desi, Aan, Bagas, M. Reza, sama Zainal). Ending
ceritanya mungkin selalu ditutupi jalan-jalan yang sulit kutempuh karena aku
nggak bisa memilih jalan pintas lagi. tapi, aku punya banyak orang yang
mendukungku, yang membuatku bersyukur kalau aku bisa bertemu dengan mereka
setiap hari.
Thank
you, my dear friend. I will never forget you all
DISUSUN
OLEH:
NAMA:
NAJWA ANISA SAFITRI
KELAS:
VI B
NO
ABSEN: 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar