Rabu, 08 Juli 2015

MY BELOVED: ZAHRA

Aku tersentak seketika. Lidahku seolah kelu untuk mengucapkan sesuatu. Hal ini begitu tiba-tiba. Bahkan aku sendiri pun tak dapat memperkirakannya. Seketika, gagang telepon itu terjatuh ke lantai. Aku tak memperdulikan sebuah suara teriakan bercampur kepanikan di seberang sana. Aku tak peduli lagi. Yang jelas, saat ini aku menyesal.
Aku menjambak rambutku frustasi, sambil terus menangis. Secepat inikah kamu pergi?
Sekujur tubuhku bergetar hebat. Airmata yang tak kuasa aku bendung, mulai membasahi pipiku.
Beberapa menit yang lalu, aku baru saja menerima berita, bahwa sahabat terbaikku yang sering aku kecewakan telah tiada. Dia telah berpulang untuk selamanya. Akibat kecelakaan maut yang telah merenggut nyawanya
Untuk pertama kalinya, aku merasakan kesedihan yang sangat mendalam di hidupku. Secepat ini 'kah?
..OooO..
Hari ini adalah hari dimana sahabatku yang bernama Zahra di makamkan.
Banyak yang menangisi kepergian sahabat terbaik yang pernah ada di dalam hidupku. Aku terdiam membisu, layaknya patung hidup. Air mataku mungkin sudah kering akibat terus-menerus menangis kemarin.
Aku masih setia duduk disamping batu nisan yang bertuliskan nama Zahra. Sudah hampir satu jam aku disini tanpa melakukan hal yang berarti. Aku tak peduli hawa pemakaman yang terasa mengerikan. Yang aku pedulikan sekarang, hanyalah rasa bersalahku kepada Zahra.
"Zahra, maafin Dhea. Dhea udah punya banyak salah sama Zahra. Terakhir kita bertemu, Dhea malah marahin Zahra. Dhea nggak tau kalau hal ini bakalan terjadi menimpa Zahra. Dhea nggak tau harus gimana lagi. Zahra yang selalu maafin Dhea udah nggak ada di dunia ini lagi. Zahra adalah sahabat terbaik yang pernah Dhea punya. Sebenarnya, Dhea masih nggak terima Zahra pergi. Maafin Dhea, hiks." Akhirnya, tangisku pun pecah. Mewarnai suasana pemakaman yang sangat sepi, karena hanya aku satu-satunya yang bertahan di tempat ini.
"Maafin kalau Dhea punya banyak salah ke Zahra. Selalu marah-marah ke Zahra, menjahili Zahra, ngerepotin Zahra, dan ngecewain Zahra. Dhea bener-bener minta maaf. Semoga Zahra bisa hidup dengan tenang di alam sana. Jangan pernah lupain Dhea, ya?" Aku mengelus batu nisan yang dingin itu. Air mata tak henti-hentinya menetes dari pelupuk mata ku.
Sungguh, aku sangat merasa bersalah ke Zahra. Dia tak pernah sekalipun berkata hal yang menyakitkan kepadaku disaat aku memarahinya. Dia hanya akan tersenyum ketika aku menjahilinya. Ketika aku berbuat salah, dan megecewakannya, dia lah yang meminta maaf. Kini, aku sangat merindukan sosok seorang Zahra di sisiku. Merindukan kebaikan yang ada pada diri Zahra.
"Sekali lagi, maaf dan terima kasih untuk semuanya, Zahra."
Aku mulai beranjak dari tempatku. Hari sudah semakin sore. Walau aku sedikit enggan beranjak dari sana, aku harus pulang. Ayah dan Bunda pasti menghawatirkan ku.
..OooO..
Sudah seminggu berlalu sejak kepergian Zahra. Aku jadi sering melamun. Ayah dan Bunda juga menjadi semakin khawatir terhadapku. Namun, aku berusaha tetap kuat dengan selalu mengatakan 'Aku baik-baik saja.' walaupun aku sendiri tak yakin dengan hal itu.
Selama seminggu ini pula, aku semakin merindukan Zahra. Waktu yang biasanya kuhabiskan berdua bersamanya kini tak mungkin kembali. Aku sempat terpuruk dengan keadaan seperti ini. Tapi, aku selalu mendengar suara bisikan yang entah berasal dari mana, membisikkan kepada diriku bahwa Zahra tidak akan senang bila aku terus bersedih.
Aku menopang daguku menggunakan tangan kiriku dengan lesu. Baru aku sadari, pengaruh Zahra dalam hidupku sangatlah besar. Ingatan-ingatan tentang Zahra kembali menggerayangi pikiranku.
Tok. Tok. Tok.
Indra pendengaranku menangkap suara ketukan pintu dari luar kamarku. "Masuk."
Cklek.
Pintu itu terbuka, menampilkan sosok Bunda yang tengah membawa sebuah amplop berwarna merah muda di tangannya. "Dhea, ada surat, titipan Bibi Rosela untukmu. Katanya, ini dari Zahra sebelum dia meninggal." ujar Bunda. Mataku terbelalak kaget. Segeralah aku menghampiri Bunda.
"Kata Bibi Rosela, Zahra pernah berpesan agar kamu membacanya di tempat biasa kalian bertemu." Jelas Bunda. Aku mengangguk, tanda mengerti. Segera ku ambil amplop berisikan surat dari Zahra. "Terima kasih ya, Bun. Aku pergi dulu." kataku. Lalu, aku bergegas pergi ke tempat biasanya kami bertemu.
..OooO..
Aku duduk terdiam seraya memandang danau di hadapan ku. Disinilah tempat pertama kali kami bertemu, dan tempat dimana kami sering bertemu.
Segera ku buka amplop tersebut, lalu mengeluarkan surat di dalamnya.
***
Hai, Dhea!
Kamu sehat 'kan?
Rasanya agak aneh lho, membuat surat seperti ini. Hm, aku bingung bagaimana berbicara denganmu saat ini. Ah, lebih tepatnya malu.. mungkin?
Maaf ya, kalau aku pernah berbuat salah ke kamu. Maafin aku juga kalau aku sering ngebuat kamu kecewa. Aku nggak tau harus berbuat apa biar kita bisa baikan. Aku harap, persahabatan kita akan terjalin selamanya!
Kalau misalnya aku terlalu pendiam buatmu, aku minta maaf ya! Aku bukan bermaksud untuk bersikap nggak peduli ke kamu. Aku hanya bingung bagaimana aku menjabarkan ekspresiku. Hehe.
Apa sekarang kamu bisa bahagia, Dhea? Kalau kamu belum bisa, Berbahagialah sekarang juga! Karena, kalau kamu sedih aku ikut sedih. Jadi, kamu harus bahagia. Biar aku juga bahagia. Kita sahabat 'kan?
Nah, aku minta maaf kalau punya salah ke kamu, dan juga.. Terima kasih, Dhea!
Salam, Zahra.
***
Tubuhku lemas, seolah tulang-tulangku sudah tak mampu menopang tubuhku ini. Tanganku tak berhenti bergetar. Isakan kembali terdengar lolos begitu saja dari mulutku. Aku menatap danau dengan tatapan kosong.
Tes.
Airmata itu kembali menetes. Sekelebat memori yang pernah kami alami berdua mulai berputar di pikiranku layaknya kaset rusak.
Aku berjalan kearah danau. Karena tempat ini sepi dan tak banyak di ketahui oleh orang lain, aku bebas berteriak sekeras mungkin sepuasku.
Aku mengusap kasar pipiku. Aku tak boleh sedih. Karena, kalau aku sedih, berarti Zahra juga akan sedih. Saat ini, aku harus mengikhlaskan kepergiannya.
Mulai saat ini, aku bertekad untuk tidak menyia-nyiakan orang di sekitarku. Sebelum aku menyesalinya di kemudian hari. Cukuplah kematian Zahra yang membuatku belajar bahwa kasih sayang seorang sahabat tak dapat dibeli dengan apapun.
.
.
.
..Oo.. E N D.. oO...

Nama Lengkap : Fajarasih Luthfia Martha
Panggilan : Luthfi
Facebook : Fajarasih Luthfia Martha
Kelas : VII SMP
Umur : 12th (menuju 13th)
Twitter : @Luthfia_Martha
Instagram : fajarasihlm

Kak Fajarasih ini pemenang juara satu Event GOA (Group of Authors) di Facebook. Selamat, ya kak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yuk Baca!

Yuk Baca!
Aktivitas di pos baca girli